5 Alasan Kenapa Gigs di Banten Makin Sepi

INSOMNIAENT.ID – Era 2000-2013 banyak banget acara musik berskala medioker atau bisa dibilang gig di berbagai kota di Indonesia, termasuk di Banten. Acara gig saat itu dengan cepat mengambil alih event-event festival yang sempat merajai panggung hiburan di Banten.

Lalu gig muncul dengan mewadahi band-band yang sebelumnya sulit terakomodir, lantaran genre musik mereka yang segmented. Hadirnya acara gig, justru bisa mewadahi band-band yang mengusung semua aliran musik seperti pop, rock, reggae, emo, punk, metal, hingga grindcore.

Semakin menjamurnya acara gigs, banyak Event Organizer (EO) independen yang membuat gigs berbagai tema, bahkan yang bersifat annual sekalipun. Kala itu, harus diakui Kota Serang dan Cilegon adalah barometer perhelatan acara gig di Banten.

Di Kota Serang, mungkin diantara kita ada yang masih ingat acara Overload yang diinisiasi oleh Suffer.Inc, lalu Serang Bergetar milik Sunday Monday. Atau di Cilegon kita kenal acara Membakar Batas besutan Drop Out. Konsep acara ini memiliki sifat kontinu hingga berjilid-jilid.

Sayang, setelah tahun 2013 atmosfer scene gig di Kota Serang dan Cilegon perlahan mulai redup. Praktis lahan bagi band-band yang menggeluti scene sidestream pun semakin berkurang.

Di sini, tim redaksi insomniaent.id mencoba menganalisis apa sebab gig di Serang dan Cilegon mulai sepi.

1. Sedikitnya EO yang Menyelenggarakan

Kita ketahui sendiri pada era 2006-2013 banyak Event Organizer yang bergerak diranah sidestream untuk berbondong-bondong membuat sebuah pergerakan local heroes. Contohnya dalam hal pertunjukan. Mereka memberikan lahan bagi musisi sidestream untuk unjuk gigi dan mengenal band mereka kepada pada penikmatnya. Tapi yang kita ketahui, memasuki tahun 2016-2018 sedikit sekali gigs yang digelar. Salah satunya mungkin dikarenakan keberadaan EO yang menyusut. Meski tidak bisa dipungkiri, masih ada beberapa pengerak yang bertahan untuk mengelar gigs dan masih memperjuangkan scene ini. Namun jumlahnya bisa dihitung jari.

2. Regenerasi Band yang Minim

“Regenerasi harus terjadi!” Ini kalimat yang biasa disuarakan oleh musisi senior  kepada para junior dan penikmat scene ini. Tapi harus diakui, regenerasi yang terjadi tidak signifikan. Hanyak ada beberapa band yang bertahan dengan konsep yang mereka miliki. Sedangkan yang lainnya tumbang dimakan masa dan kesibukan di luar sana. Ini juga mungkin salah satu alasannya kenapa EO mengendurkan pergerakannya. Karena playernya banyak yang tidak produktif dan tidak membawa angin segar  bagi penikmatnya. Tapi jangan salah sangka, masih banyak kok band yang berjuang juga untuk tetap bisa eksis dan terus berkarya.

3. Lokasi dan Birokrasi

Kita harus menyadari bahwa mencari lahan pertunjukan khususnya untuk komunitas underground di wilayah Serang dan Cilegon sangat susah. Sekalinya mendapat lahan, penyelenggara kesulitan mengurus perizinan. Seringkali proses birokrasi yang ribed, mematahkan semangat EO untuk menghelat gigs. Termasuk biaya perizinan yang tidak murah. Padahal untuk membuat gig, kadangkala mengandalkan semangat D.I.Y dengan bersifat kolektif, baik dari EO dan band itu sendiri. Akibatnya para EO kewalahan untuk mencari tempat yang sesuai dengan budget mereka yang terbatas.

4. Pengenalanan Gigs

Semakin masifnya perkembangan digital, membuat akses informasi dapat dijangkau dengan mudah. Fenomena Media Sosial yang menjamur, mengalihkan cara dalam berkomunikasi. Pertumbuhan digitalisasi itu ternyata berdampak pada pengetahuan penikmat musik dewasa ini. Mereka lebih mudah mencari tahu informasi event-event skala besar seperti festival musik. Namun, karena sudah meredupnya pergerakan event gig, membuat millenials tidak mengetahui perjalanan gig di Serang dan Cilegon.

Di samping jejaring sosial pun ikut menjauhkan interaksi intim saat gig digelar. Satu sisi kehadiran Medsos memberi dampak terhadap kemudahan dalam menyampaikan promosi, baik promosi acara atau band. Namun kadang promosi itu tidak dikemas dengan matang, sehingga kurang menimbulkan interest bagi audience. Satu lagi, munculnya Medsos seolah menghilangkan budaya flayering yang sedari dulu menjadi salah satu strategi “menjual” acara gig.

5. Inkonsistensi Sebuah Band

Poin ini bisa menjadi salah satu penyebab meredupnya industri scene di Serang Cilegon. Karena saat event gig tidak lagi menggema, mereka ikut melemah hingga tak sedikit yang akhirnya memutuskan bubar barisan. Soal kesibukan diantara personil pun tidak bisa dikesampingkan seiring dengan tuntutan hidup yang semakin tinggi.

Ada yang akhirnya membentuk side project baru. Namun karena tidak memiliki ruang, akhirnya side project itu pun stagnan. Sehingga banyak band atau musisi yang bagus, akhirnya harus berhenti sebelum mereka mendeklarasikan dirinya sebagai sebuah band yang hakiki dengan merilis sebuah album.

Nah bagaimana menurut kalian? Apakah scene yang dibangun semenjak lama harus berhenti sampai sini atau kalian sendiri yang akan memperjuangkannya? Tentunya catatan ini subjektif, kalian bisa setuju atau tidak. Kalau ada alasan lain, kalian boleh tambahin di kolom komentar.

Follow Us

Latest News