INSOMNIAEnt.id – Belakangan ini para musisi di tanah air mulai was-was. Soalnya wakil kita di Senayan lagi membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Permusikan yang dianggap justru mengancam kebebasan berekspresi para musisi.
Persoalannya, ada dalam Pasal 5 jo Pasal 50 RUU Permusikan yang beberapa isinya menerangkan bahwa dalam melakukan proses kreasi, setiap orang dilarang; mendorong khalayak umum melakukan kekerasan dan perjudian serta penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya; memuat konten pornografi, kekerasan seksual, dan eksploitasi anak; serta merendahkan harkat dan martabat manusia.
Sejumlah poin yang ada dalam pasal itu pun menimbulkan polemik karena dianggap ambigu dan cenderung mengarah pada “pasal karet” karena bisa mengandung interpretasi yang berbeda-beda. Sehingga adanya potensi ancaman pidana bagi para pelaku musik atau musisi itu sendiri.
Seperti yang dikutip dari laman hukumonline.com, draft RUU ini pun mendapat sorotan tajam dari para pelaku industri musik di Indonesia.
Penggagas Konferensi Musik Indonesia (KAMI) Glenn Fredly menilai ada pasal dalam RUU Permusikan yang justru mengancam para musisi ketika berkreativitas dalam bermusik. Padahal, bermusik itu menuangkan rasa dan ide dalam bentuk lirik dan irama secara bebas. Seharusnya kreativitas bagi musisi tak dapat dibatasi dengan aturan yang justru mengekang imajinasinya.
“Sejumlah pasal dalam naskah RUU Permusikan pun berpotensi membelenggu musisi dalam berkarya,” ujar Glenn dalam keterangannya, Selasa (29/1/2019).
Glenn mengungkapkan larangan dan ancaman pidana bagi musisi tertuang dalam Pasal 5 jo Pasal 50 RUU Permusikan. Padahal, tak tertutup kemungkinan hasil karya musisi dapat disalahgunakan pihak-pihak yang berkepentingan termasuk penguasa untuk membungkam kebebasan berekspresi sang musisi. “Karenanya, pasal itu perlu dilakukan perbaikan yang isinya tidak mengancam pidana bagi para pelaku musik berkreasi,” pintanya.
Senada, Peneliti Koalisi Seni Indonesia (KSI) Hafez Gumay menilai adanya Pasal 5 RUU Permusikan menjadi ancaman bagi para musisi yang penerapannya rentan disalahgunakan. Baginya, keberadaan Pasal 5 RUU Permusikan warning keras bagi para musisi ketika membuat karya musik agar tidak menerobos batas-batas yang digariskan ketika UU ini berlaku nantinya.
Menurutnya, pengaturan ancaman pidana bentuk pengekangan sang musisi berinovasi. “Ancaman pidana itu bentuk pengekangan terhadap musisi, seperti ada ‘tembok besar’ ketika membuat karya musik. Dampaknya, para musisi bisa ‘terpangkas’ imajinasinya. Padahal, tanpa imajinasi yang bebas tidak akan ada musik yang menggugah jiwa,” katanya.
Sertifikasi
Vokalis Band Efek Rumah Kaca (ERK), Cholil Mahmud menilai selain persoalan pengaturan ancaman pidana bagi musisi, ada persoalan sertifikasi terhadap para pelaku musik. Dia mempertanyakan pengaturan adanya keharusan sertifikasi terhadap para pelaku musik yang diatur sebanyak empat pasal, Pasal 32-35 RUU Permusikan.
Menurut Cholil, pengaturan keharusan adanya sertifikasi bagi para pelaku musik berpotensi menimbulkan kelas-kelas elit dalam industri musik di Indonesia. Hal ini justru bertentangan dengan cita-cita membuat musik yang bersifat inklusif dan dinikmati banyak orang.
“Pembentukan elite di kalangan musisi ini seolah ada hierarki dalam musik, ada yang jadi pemusik, ada yang jadi pendengar. Padahal kalau musik menjadi napas orang banyak, pemusik bisa jadi pendengar dan pendengar bisa jadi pemusik,” lanjutnya.
Atas masukan atau kritikan ini, Ketua DPR Bambang Soesatyo meminta agar para musisi mesti satu suara memandang materi RUU tersebut agar tidak terdapat pertentangan di kalangan musisi dan industri musik. Hal ini agar Panja RUU Permusikan nantinya ketika akan membahas RUU ini dapat mengetahui secara jelas terkait kebutuhan yang diinginkan para pelaku musik.
“Saya meminta KAMI sebagai leader para musisi ketika memperjuangkan RUU ini segera merangkul semua kalangan musisi dan membuat apa saja poin-poin substansi yang diharapkan,” pesannya.