INSOMNIAEnt.id – Kematian tragis Affan Kurniawan (21), seorang pengemudi ojek online, setelah mengalami tindakan represif aparat kepolisian, kembali memicu gelombang kemarahan publik. Tragedi ini bukan hanya tentang hilangnya nyawa seorang warga sipil, tetapi juga tentang bagaimana aparat penegak hukum kerap bertindak berlebihan, seolah lupa bahwa tugas utama mereka adalah melindungi, bukan menindas.
Di jalanan dan media sosial, publik menumpahkan amarah, menuntut keadilan, dan mempertanyakan keseriusan reformasi kepolisian yang sudah lama dijanjikan. Namun, kemuakan terhadap wajah represif polisi Indonesia bukanlah sesuatu yang lahir hari ini saja. Ia telah lama hidup dalam kesadaran kolektif, termasuk dalam ekspresi musik.
Kalau kamu tumbuh bareng musik bawah tanah Indonesia, kamu tahu: lagu-lagu sudah lama teriak soal busuknya polisi. Punk, metal, sampai rap — semua punya track record nyumpahin aparat.
Musik independen dan bawah tanah Indonesia, sejak lama, menjadi saluran protes terhadap kesewenang-wenangan aparat. Lagu-lagu dari berbagai band lintas genre merekam rasa marah, sinis, hingga getir terhadap institusi kepolisian.
Berikut beberapa lagu yang menjadi gema perlawanan kultural terhadap represi:
Sukatani – “Bayar Bayar Bayar”
Lagu punk ini menyoroti praktik pungli dan ketidakadilan birokrasi, termasuk aparat yang lebih sibuk meminta bayaran daripada melayani masyarakat. Semacam satire keras bahwa hukum hanya bisa berjalan jika ada uang yang berpindah tangan.
Seringai – “Lencana”
Seringai menyindir simbol lencana polisi yang seharusnya menjadi lambang kehormatan, tetapi justru sering dipakai untuk menutupi kesewenang-wenangan. Liriknya bernuansa sindiran sarkastis terhadap aparat yang lebih bangga dengan atribut daripada integritas.
Jeruji – “Fuck off Police”
Unit punk dari Bandung ini menyuarakan kemarahan paling eksplisit. Judulnya sudah cukup jelas: penolakan total terhadap institusi kepolisian yang dianggap lebih sering menindas daripada melindungi.
Pure Saturday – “Coklat”
Dengan nuansa lebih lirih dan melankolis, Pure Saturday menghadirkan keresahan personal terhadap sistem yang bobrok. “Coklat” bisa dibaca sebagai simbol kemuakan terhadap ketidakadilan yang terus-menerus ditelan masyarakat.
Homicide – “Puritan”
Rap politis Homicide menguliti wajah hipokrit moralitas dan represi. Polisi sering tampil sebagai penjaga ketertiban, tetapi sebenarnya memperkuat status quo yang menindas kelas bawah. “Puritan” menjadi pisau analisis tajam terhadap otoritarianisme.
Morfem – “Pilih Sidang atau Berdamai”
Lagu ini secara sinis mengulas praktik sehari-hari yang kerap dialami warga ketika berurusan dengan polisi lalu lintas: pilihan semu antara mengikuti prosedur hukum atau membayar “damai” di tempat. Kritik yang getir namun penuh humor gelap.
Rotor – “Pluitphobia”
Band metal legendaris ini mengangkat ketakutan warga terhadap peluit polisi. Sebuah simbol sederhana yang menggambarkan betapa aparat lebih ditakuti daripada dipercaya.
Keparat – “Police Shit”
Punk yang meledak-ledak, penuh amarah, mengutuk polisi sebagai institusi busuk. Sebuah ekspresi vulgar dari rasa frustrasi anak muda terhadap represi.
Sendal Jepit – “Cops No Fun”
Dengan gaya punk rock riang namun pedas, lagu ini menyampaikan bahwa keberadaan polisi justru merusak kesenangan publik, selalu hadir sebagai pengganggu daripada penjaga kenyamanan.
Tragedi meninggalnya Affan memperlihatkan bahwa lagu-lagu ini bukan sekadar romantisasi perlawanan, melainkan potret sosial yang nyata. Apa yang mereka nyanyikan sejak puluhan tahun lalu kembali terbukti relevan: polisi seringkali hadir bukan sebagai pelindung, tetapi sebagai pihak yang menakutkan, mengintimidasi, dan bahkan menghilangkan nyawa.
Musik menjadi cermin sekaligus alat untuk mengingatkan: ketika keadilan sulit diperoleh di ruang pengadilan, suara perlawanan akan selalu menemukan jalannya di ruang budaya.