Pembajakan kayanya masih menjadi momok bagi pelaku industri kreatif. Sejak dulu tindakan menduplikat suatu produk tanpa izin ke empu nya, sudah menjamur dan seolah menjadi tabiat buruk masyarakat kita.
Tentu saja aksi pembajakan itu selalu merugikan bukan cuma dari sisi finansial, tapi juga dari sisi intelektual.
Bayangin deh, bagaimana rasanya karya kita dibajak sama orang yang tidak bertanggungjawab. Mengambil keuntungan dari jerih payah kita membangun usaha.
Ironisnya, kini pembajakan bukan cuma menelan korban pelaku industri kreatif sektor perfilman, musik, atau karya. Tapi udah sampai ke bidang clothing.
Kita pasti masih ingat bagaimana brand-brand besar lokal macam Crooz, Peter Say Denim, hingga line clothing dijajaran Trunojoyo, Bandung, menjadi korban pembajakan.
Ternyata hal itu juga dirasain sama pemilik Clothing Ribed dan Saralee, looh. Brand asal Kota Serang ini sempat merasakan pedihnya dibajak.
Akibatnya, sang pemilik bukan cuma rugi materi, tapi rugi sosial. Karena banyak konsumen yang komplain dengan kualitas barang yang mereka beli. Padahal barang itu bukan lah produk resmi dari Ribed atau Saralee.
Tapi, alih-alih memodifikasi produknya supaya enggak dibajak lagi, sang pemilik justru mencoba cara lain untuk mengembangkan bisnisnya.
Fajar Ramadhan atau yang biasa kita kenal dengan panggilan Ope, sosok dibalik nama Ribed dan Saralee, memilih untuk merambah cara lain, namun tidak meninggalkan kesukaannya terhadap dunia fashion.
Polosan Geh, adalah terobosan baru dari Ope dalam menyalurkan hobi sekaligus medianya berbisnis. Poloson Geh digagas sebagai bentuk startegi dalam menekan tindak pembajakan.
“Karena pembajakan yang semakin meraja lela, terus salah satu desain Ribed dibajak oleh brand lain, akhirnya membuat gue lebih memilih konsep polosan agar tidak mudah dibajak oleh lainnya,” kata Ope.
Tapi bukan cuma soal pembajakan aja, ternyata ada faktor lain yang mendasari Ope yakin menjalani bisnis barunya ini. Muak dan jenuh dengan motif disain yang dipakai berbagai brand saat ini, membuat Ope serius dengan Polosan Geh.
“Semakin banyak brand yang berkembang dengan konsep design yang semakin berkembang dan enggak masuk diakal. Jadi lebih memilih konsep polos yang lebih elegan,” celoteh Ope.
“Jadi karena kegelisahan gue soal motif desain yang semakin ribet membuat gue akhirnya lebih memilih bermain dengan warna bahan untuk membuat sesuatu yang berbeda dibanding dengan pesaing bisnis lainnya yang sekarang hampir seragam,” bebernya panjang lebar.
Ope pun menyangkal bahwa Polosan Geh adalah bentuk pelarian atas pasar Ribed dan Saralee yang memudar. Pria bertato itu menegaskan bahwa ia ingin merambah usaha lain yang bisa menjangkau semua kalangan.
“Jadi karena gue pengennya usaha tetap dibidang fashion tapi dengan cara berbeda dengan menjual kaos polos. Ribed dan Saralee tidak ditinggalkan, hanya untuk menjadi batu loncatan,” bantah Ope.
“Pasar Ribed dan Saralee masih ada, tapi karena gue pengen masuk keseluruh kalangan, makanya dibuat konsep yang berbeda dari Ribed dan Saralee. Jadi Ribet dan Saralee masih berjalan dengan konsepnya sendiri,” sambung Ope kemudian.
Walaupun begitu, Ope menjamin bahwa kualitas bahan yang dipakai Polosan Geh sama baiknya dengan dua brand sebelummya. Malah Ope mengaku kaget dengan animo konsumen yang dianggapnya di luar ekapektasi.
“Bahan yang gue pakai cotton combat 30s. Bahan yang sama dengan Ribed. Jadi kualitas sama aja. Dan awalnya gue menyasar pasar konveksi sablon. Tapi di luar ekspektasi malahan peminatnya dari pecinta kaos brand yang simple,” senyum Ope bangga.
Meski baru mulai merintis, namun Ope tetap menjanjikan kualitas dan harga yang kompetitif. Ope terlihat tidak main-main dengan usaha barunya itu. DNA berniaga kini mengalir deras dalam dirinya.
“Harga yang dijual dari Rp30 ribu sampei Rp35 ribu, tergantung pembelian. Jadi bisa menerima grosiran maupun satuan. Untuk yang ingin dapetin kaos polosan bisa stalking Instagram @polosangeh atau WA di nomor 087875677666. Atau bisa langsung ke toko di Jalan Cadika, persis di belakang Kantor Radar Banten,” kata Ope berpromosi.